
348 Tahun Perjalanan Kabupaten Bojonegoro: Refleksi Sosial, Budaya, dan Pendidikan
Oleh: Dr. Mukhamad Roni, S.E.,M.E*
Kemajuan ekonomi dan perkembangan industri yang saat ini terjadi di Bojonegoro tidak dapat dipisahkan dari pergeseran dalam aspek sosial, budaya, dan pendidikan masyarakat setempat. Di tengah berbagai perubahan signifikan, nilai-nilai lokal, kearifan tradisi, serta pengembangan kualitas sumber daya manusia berfungsi sebagai landasan moral dan spiritual yang mengarahkan proses pembangunan.
Kemajuan yang tidak diimbangi dengan ketersediaan kesejahteraan sosial akan menyebabkan ketidakadilan. Pertumbuhan yang tidak disertai pendidikan akan menciptakan ketergantungan. Dan industrialisasi yang mengabaikan budaya akan membuat individu kehilangan identitasnya. Oleh karena itu, pengembangan dalam bidang sosial, budaya, dan pendidikan harus berjalan beriringan dengan revitalisasi ekonomi. Di sinilah makna refleksi Bojonegoro yang ke-348 menemukan relevansinya: menciptakan manusia yang utuh, bukan hanya berfokus pada pertumbuhan ekonomi daerah semata.
Dinamika Sosial di Tengah Industrialisasi
Perubahan dalam struktur ekonomi Bojonegoro menghasilkan dampak sosial yang signifikan. Komunitas yang sebelumnya menikmati kehidupan harmonis di pedesaan kini berhadapan dengan kenyataan urbanisasi, peningkatan mobilitas, dan pola konsumsi yang lebih modern. Prinsip gotong royong mulai beralih menjadi kecenderungan individualisme, dan solidaritas diantara warga sering kali terancam oleh persaingan ekonomi.
Meskipun demikian, Bojonegoro masih menunjukkan ketahanan sosial yang kokoh. Tradisi lokal seperti sedekah bumi, kenduri desa, wayang thengul, dan seni oklik tetap menjadi pengikat antarwarga. Tradisi-tradisi ini tidak hanya berfungsi sebagai sarana hiburan, tetapi juga sebagai alat sosial untuk memperkuat kebersamaan dan memperdalam makna spiritual dalam kehidupan.
Tantangan yang akan datang adalah bagaimana cara untuk mempertahankan nilai-nilai sosial ini agar tetap relevan di tengah arus modernisasi. Pemerintah setempat, institusi pendidikan, dan komunitas budaya harus tetap berupaya menanamkan kesadaran akan pentingnya identitas sosial dan rasa kebersamaan di tengah perubahan zaman.
Budaya Lokal sebagai Sumber Ketahanan Moral
Budaya Bojonegoro memiliki makna yang mendalam mengenai kesederhanaan, ketulusan, dan kebijaksanaan dalam kehidupan. Ungkapan “urip iku urup” yang berarti kehidupan harus memberikan pencerahan bagi orang lain menjadi pedoman moral yang tetap relevan di setiap zaman. Dalam era industrialisasi, nilai-nilai ini berfungsi sebagai perisai dari pragmatisme dan materialisme yang dapat mengancam identitas masyarakat.
Di samping itu, ekspresi budaya seperti batik Jonegoroan dengan desain yang terinspirasi dari alam dan Bengawan Solo menunjukkan kemampuan seni lokal untuk beradaptasi dengan perkembangan modern tanpa kehilangan jati dirinya. Budaya setempat juga memiliki potensi untuk menjadi sumber ekonomi kreatif, asalkan dikelola dengan pendekatan yang inovatif.
Festival budaya, pariwisata yang dikelola oleh komunitas, dan peremajaan seni tradisional dapat menjadi komponen penting dari strategi pembangunan sosial yang berkelanjutan.
Pendidikan sebagai Pilar Pencerahan
Tidak ada keberhasilan ekonomi yang bisa bertahan lama tanpa kemajuan di bidang pendidikan. Bojonegoro memahami hal ini melalui beragam inisiatif untuk meningkatkan standar pendidikan, baik formal maupun nonformal. Namun, masih ada berbagai tantangan yang harus dihadapi: adanya perbedaan akses antara daerah perkotaan dan pedesaan, mutu pengajar, serta kesesuaian kurikulum dengan tuntutan dunia kerja dan industri.
Institusi pendidikan tinggi serta lembaga pendidikan agama seperti pesantren memainkan peran krusial dalam membentuk karakter kaum muda di Bojonegoro. Mereka tidak hanya diharapkan cerdas secara akademis, tetapi juga kokoh dalam aspek moral dan spiritual mereka.
Keharmonisan antara pengetahuan, kepercayaan, dan etos kerja menjadi solusi bagi pendidikan di Bojonegoro menjadikan individu sebagai aktor dalam pembangunan, bukan hanya sebagai sasaran dari kebijakan.
Pendidikan vokasional dan pelatihan teknis perlu diperkuat agar anak muda Bojonegoro bisa bersaing dalam industri modern. Namun, yang lebih utama adalah membangun kesadaran bahwa bekerja bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan, tetapi juga sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat dan bangsa.
Literasi Digital dan Transformasi Sosial
Era digital menghadirkan kesempatan sekaligus tantangan baru untuk masyarakat Bojonegoro. Akses informasi yang melimpah mempercepat pertukaran pengetahuan dan komunikasi, namun juga memicu disrupsi sosial dan kultural.
Generasi muda Bojonegoro sekarang hidup di dua ranah: realitas yang berakar pada budaya lokal dan dunia digital yang tidak memiliki batas. Membangun kemampuan literasi digital menjadi sebuah kebutuhan yang mendesak. Literasi ini tidak sebatas menunjukkan kemampuan memakai teknologi, tetapi juga mencakup kemampuan berpikir kritis, arif, dan etis dalam ruang lingkup digital.
Dengan literasi digital yang kokoh, warga Bojonegoro bisa berperan aktif dalam ekonomi digital, bukan hanya sebagai pengguna yang pasif. UMKM berbasis online, promosi wisata lokal melalui media sosial, serta jaringan bisnis menjadi contoh bahwa digitalisasi dapat menjadi jalan baru untuk kebangkitan ekonomi sosial.
Perguruan Tinggi dan Peran Sosial-Transformasional
Keberadaan institusi pendidikan tinggi di Bojonegoro seperti Universitas Bojonegoro, Universitas Nahdlatul Ulama Sunan Giri, STIKES Maboro, Istitut Attanwir serta sejumlah kampus lainnya telah berfungsi sebagai pendorong perubahan sosial. Kampus bukan hanya sekedar lokasi untuk belajar, tetapi juga merupakan ruang eksperimen sosial yang menghasilkan ide-ide, inovasi, dan kepemimpinan yang segar. Penting untuk memperkuat kerjasama antara sektor akademik, industri, dan pemerintah setempat dalam model triple helix di mana penelitian dan pengabdian kepada masyarakat menjadi alat nyata untuk pembangunan.
Institusi pendidikan tinggi juga memiliki peran penting dalam mempertahankan keseimbangan moral dalam proses pembangunan. Mereka berfungsi sebagai tempat untuk menumbuhkan kesadaran kritis, semangat nasionalisme, serta etika profesional yang berlandaskan pada nilai-nilai kemanusiaan dan ajaran Islam.
Refleksi Penutup
Di tengah perkembangan industri dan percepatan ekonomi, Bojonegoro harus terus mengembangkan individu yang berpikir kritis, berbudaya, dan berpendidikan. Pembangunan sosial serta budaya bukan hanya menjadi tambahan dalam pembangunan ekonomi, melainkan inti dari keberlanjutan suatu daerah.
Masyarakat yang memiliki pendidikan dan pemahaman budaya yang baik akan mampu mengarahkan pembangunan dengan tetap mengutamakan kemanusiaan.
Bojonegoro, yang telah berusia 348 tahun, telah menunjukkan kekuatannya. Kini, tanggung jawab generasi yang akan datang adalah mempertahankan keseimbangan antara kemajuan serta nilai-nilai kemanusiaan, antara teknologi dan warisan budaya, antara industri dan jati diri.
Saat nilai-nilai sosial serta budaya terus berkembang di tengah kemajuan, kebangkitan ekonomi Bojonegoro akan menjadi kebangkitan yang memiliki martabat suatu kebangkitan yang tidak hanya fokus pada pembangunan daerah, tetapi juga pada pertumbuhan jiwa manusia.
*Penulis adalah Dosen Ekonomi Syariah, Praktisi Indonesia Belajar dan Mengajar, Penyuluh Anti Korupsi KPK, Sekretaris III Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia DPW Jawa Timur.
 































 

 
 
 
 
 


