25 Agustus 2019

Inilah Sejarah Gereja Tertua di Bojonegoro

    Minggu, Agustus 25, 2019  

Oleh: Tim Redaksi

Masa Perintisan: Tahun 1903-1914

Pada 31 Maret 1903 datanglah seorang misionaris Salatiga Zending yang bernama Wilhelm Barth untuk merintis gereja di Bojonegoro. Lembaga Salatiga Zending itu mendapat wilayah pelayanan, dari pemerintah Hindia Belanda, di Jawa Tengah Utara dan di karesidenan Bojonegoro, Salatiga Zending ini terbentuk dari gabungan antara misionaris Jerman yang diutus oleh "Neukirchener Mission" (berpusat di kota Neukirchen, Jerman) dan misionaris Belanda yang diutus oleh "Vireeniging tot ondersteuning van de zendelingen der Salatiga-zending op java" (Perhimpunan Untuk Mendukung Para Misionaris Salatiga Zending Di Jawa) yang berpusat di Utrecht, Belanda.

Sedangkan untuk bapak Wilhelm Barth sendiri berasal dari Weiterode (Jerman). Dan pada tahun 1894 – 1899 studi di seminari misi di Neukirchen (Jerman). Lalu diutus ke Jawa oleh Yayasan Misi "Neukichener Mission". Setelah tiba di Jawa pada tahun 1899 ia belajar bahasa Jawa dan menikah dengan Gesina Lopman pada tahun 1901, baru pada akhir bulan Maret 1903 keluarga muda ini ditemmpatkan di Bojonegoro, bersama dengan anak putri mereka bernama Anna Margarete, yang lahir di Kaliceret dan pada usia yang baru beberapa bulan dibawa ke Bojonegoro. dalam pelayanannya bapak  Barth didukung oleh asisten residen Bojonegoro, seorang Kristen yang setia.

Mereka bersama-sama mendirikan pelayanan medis dengan bermodal pengetahuan medis yang sedikit, yang ia peroleh pada waktu dalam pendidikan di seminari. Namun begitu oleh masyarakat ia dianggap sebagai dokter.

Selain itu Bart juga mengadakan kelompok PA Bagi tentara Kristen dari Ambon, di barak mereka. Yang dimana sebagian dari mereka juga mengikuti kebaktian minggu setiap pekannya. Di sisi lain Ibu Gesina Barth membuka kelas menjahit, awalnya untuk gadis Belanda kemudian juga bagi gadis Jawa.
Dalam pekabaran Injil ini keluarga Barth juga dibantu oleh Guru Injil Jawa, yaitu GI Jochanan (hanya sepuluh hari) dan GI Joesoep (dari Tugu) beserta anaknya Johanes, yang mengajar di sekolah zending yang baru didirikan. Pada tahun 1904 guru sekolah Jawa Johannes pergi dan diganti Jakobus. Sedangkan GI Joesoep melayani di pepathan Ngringin (± 9 kilo dari Bojonegoro ke Barat). Untuk mengembangkan sayapnya, pepathan baru ini segera mendirikan sekolah Kristen yang pada waktu itu diserahkan pada seoarang guru Jawa bernama Samsudin dengan jumlah murid mula – mula 18 anak.



Di samping pelayanan itu, Wilhelm Barth dari awal berusaha agar mendapat lahan untuk membangun gedung gereja. Untuk mendapatkan lahan tanah itupun memerlukan perjuangan yang keras. Kemudian atas bantuan para misionaris yang lain dan juga pemerintah Hindia Belanda,  maka terkumpullah dana untuk membeli sebidang tanah seluas 2 hektar yang terletak di desa Kadipaten. Pada tanggal 7 November 1905 didirikan terlebih dulu sebuah pastori.

 Selama kurang lebih 3 bulan, setelah pembangunan Pastori, dibangunlah gedung gereja yang perdana di Bojonegoro. Atas pertolongan Tuhan dan orang – orang Kristen tadi, maka selesailah pembangunan gedung gereja itu pada bulan Desember 1905. Dan pada tanggal 10 Desember 1905diresmikan sebagai jemaat yang mula – mula di Bojonegoro, dan kebaktian peresmian dihadiri pula oleh rekan – rekan hamba Tuhan yang Lain. Lalu pada hari Natal tahun 1905 ada baptisan pertama dengan 16 orang percaya sebagai hulu hasil pelayanan kel. Barth serta pelayanan guru Injil Jawa.

Di antara yang baptis adalah Lurah desa Ngringin bersama isterinya, kedua mertuanya dan tiga anaknya. Ia memilih nama Zakheus karena sama seperti Zakheus ia bersama rumah tangganya diberkati oleh kedatangan Tuhan. Dan memang keluarga ini menjadi berkat besar bagi pekabaran Injil di Bojonegoro : Anaknya, Soedjono Siswosoedarmo, bersekolah di sekolah zending Bojonegoro dan seminari guru di Tingkir, lalu menjadi guru di sekolah zending di Bojonegoro, sekaligus melayani sebagai majelis jemaat Bojonegoro dan sering menasehati para misionaris khusunya dalam persoalan yang menyangkut budaya Jawa.

Masa Perkembangan 1914-1940

Pada Tahun 1907 Bp. Wilhelm  Barth mendirikan rumah sakit yang sekarang ini namanya rumah sakit "Sorodoro" yang dimiliki pemerintah Kabupaten Bojonegoro. Selain itu juga mendirikan sekolah Kristen. Sekolah zending yang pertama kali didirikan di belakang gereja  (sekarang bernama SD Mardisiswo dan ada TK Petra) dengan guru Bp. Jakobus.

Ibu Gesina Barth juga mendirikan sekolah bagi putri Jawa dari keluarga terkemuka. Melalui sarana itulah,  pelayanan tersebut mendapat respon positif dari masyarakat, sehingga misi melalui kedua bidang itu semakin membuahkan hasil yang menggembirakan. Dalam waktu singkat warga jemaat bertambah dan  yang aktif mengikuti kebaktian antara 50 – 60 orang dewasa dan anak – anak.
Pada tahun 1909 kel. Wilhelm Barth harus ke Jerman untuk menyekolahkan anak mereka disana, karena "Nonik Anna Margaret" sudah mencapai usia SD. Selama mereka di Jerman, pelayanan mereka dilanjutkan oleh keluarga Bp. Friendrich SchlipkÖter dan Ibu Clara SchlipkÖter (dari Jerman pula).

Namun, Bapak Ibu Wilhelm Barth merindukan sekali kembali ke Bojonegoro. Maka pada tahun 1912 mereka meninggalkan anak tunggal mereka di Jerman dan kembali ke Bojonegoro untuk melanjutkan pelayanan mereka mulai dari tahun 1912 – 1914.

Pada bulan Februari 1914 konferensi Salatiga Zending memutuskan agar kel. Barth dipindahkan ke tempat lain di wilayah Salatiga Zending, dan Bp.Heinrich Niephaus (dari Capellen, Jemar) dan Ibu Johanna Niephaus dipindahkan ke Bojonegoro. Mereka tiba di Bojonegoro pada tanggal 1 Oktober 1914. Karena sebelumnya, kel. Niephaus, melayani di Semarang dalam bidang penerbitan Kristen. Sehingga di Bojonegoro pun mereka melayani dengan cara  membagikan majalah Kristen berbahasa Jawa dengan nama "Mardi Rahadjo" dan "Layang Kabungahan" serta majalah "Penabur". 

Pada tahun 1918 kel. Niephaus dapat mebeli sebidang tanah dekat gereja untuk mendirikan sebuah sekolah bagi anak – anak Belanda dan Tionghoa. Sekolah ini berkembang pesat, sehingga tahun 1918 sudah harus menambah gedung sekolah baru, sampai jumlah siswa mencapai 135 orang. Tetapi karena kesulitan mencari guru, sekolah tersebut sudah  harus ditutup lagi tahun 1920 dan gedung dipakai sebagai tambahan untuk gedung rumah sakit. Rumah sakit juga sangat diminati sampai harus opname 64 pasien.

Bersama dengan guru Injil Jawa kel. Niephaus merintis pepathan baru di sebelah Utara Bojonegoro, tepatnya di daerah Cengkong (Parengan). Namun karena situasi (tiga jam jalan kaki dari Bojonegoro), kebaktian di daerah itu hanya bisa dilaksanakan 2 minggu sekali. Pada awal PI di daerah ini ada 16 jiwa yang bertobat dan dibaptis.

Dalam perkembangannya, jemaat Cengkong tersendat karena adanya rintangan dari penduduk setempat yang masih animistis. Namun, setelah kereta api Bojonegoro – Jatirogo -  Rembang dibuka pada tahun 1919 Cengkong bisa dicapai dalam waktu 10 menit, pelayanan kembali lancar.
Dalam perjalanan ke Cengkong, di kereta api, Niephaus membagi majalah penginjilan tersebut tadi, sehingga ia bersama penginjil Jawa dapat membuka pepathan baru di Jatirogo, Kradenan, Kwangenrejo, Pulo, Tuban, dan Babat. Selain itu juga di Kwangenrejo, guru Jawa Joesoep juga mengabarkan Injil, disamping tugasnya sebagai guru sekolah umum.

Pada tahun 1923 kel. Niephaus diganti oleh misionaris Bp. Johannes Bretzler (dari Emden, Jerman) serta Ibu Elisabeth Bretzler. Bp. Johannes Bretzler berusaha keras untuk mendapatkan seorang suster dan bidan yang berkwalifikasi. Dan akhirnya pada tahun 1925 ia mendapat Suster Käthe Weiss, yang malah menjadi satu – satunya bidan sepanjang jalan Cepu – Surabaya.

Akan tatapi Kel. Brezler sendiri pada tahun 1925 pindah ke Blora dan hanya sekali – sekali mengkonsuleni / berkunjung ke Bojonegoro. Sehingga Suster Käthe Weiss juga harus mengajar sekolah minggu, katekisasi, mengabarkan Injil dan memimpin seluruh pelayanan di Bojonegoro karena tidak ada misionaris lain.

Tetapi sayangnya pada tahun 1927 Suster Käthe Weiss menderita penyakit kulit dan terpaksa pulang untuk dirawat di Jerman. Tahun 1927 pula kel. Bretzler akhirnya menyerahkan pelayanannya di Bojonegoro kepada Bp.Emil Karl Erich Heintze (dari Essen, Jerman) dan Ibu Anna Margarete Heintze. Sedangkan kel. Bretzler melayani di Blora.

Ibu Anna Margarete Heintze ini lahir di Kalilceret tahun 1903, dan ia adalah anak  tunggal Ibu Gesina dan Bp. Wilhelm Barth, melewati masa kecilnya di Bojonegoro, tetapi mulai tahun 1909 bersekolah di Neukirchen, Jerman, seperti sudah disebutkan diatas. Ternyata ia masih rindu akan tanah kelahirannya, sehingga pada tahun 1927 Nona Anna Margarete kembali ke tanah Jawa, menikah dengan Emil Karl Erich Heintze dan bersama suaminya melanjutkan pelayanan yang dirintis ayahnya di Bojonegoro.

Diatas sudah disebutkan pula bahwa sebelum rumah sakit zending milik Salatiga Zending berdiri, sudah ada rumah sakit pemerintah Hindia Belanda di Bojonegoro. Tetapi pada tanggal 1 Januari 1930 rumah sakit pemerintah itu diserahkan kepada Zending. Memang, gedungnya sudah amat tua dan harus direnovasi total. Tetapi untuk renovasi pun pemerintah Hindia Belanda masih membantu dengan menanggung 75 % dari ongkos renovasi. Sehingga pelayanan medis semakin berkembang setelah rumah sakit pemerintah digabungkan dengan rumah sakit zending.

Tahun 1934 kel. Heintze meninggalkan tanah Jawa dan kembali ke Jerman, tahun 1936 Emil Karl Erich Heintze dipilih sebagai sekretaris I Komite Pendukung Salatiga Zending (Vereeniging tot ondersteuning van de zendelingen der Salatiga – zending op Java’) di Utrecht, Belanda. Pelayanan di Bojonegoro dilanjutkan oleh Bapak Paul Kroh (dari Schüllar, Jerman) bersama isterinya Martha Kroh. Paul Kroh sejak 1925 sudah melayani di Moga, lalu tahun 1934 pindah ke Bojonegoro. Namun, tahun 1935 – 1937, mereka cuti di Jerman dan diwakili oleh Alfred Flick (dariNeukirchen, Jerman) serta isterinya Lydia Flick. Kemudian tahun 1937-1940 kel. Kroh melanjtkan pelayanan di Bojonegoro. Selain dari itu, Bp. Paul Kroh juga menjabat sebagai ketua gabungan misionaris Salatiga Zending.

Masa Suram 1940-1950

Memasuki tahun 1940-1950 GKJTU Jemaat Bojonegoro benar – benar mengalami ujian berat karena situasi politik. Saat itu dunia tengah dilanda Perang Dunia II. Pada tanggal 10 Mei 1940 Jerman menyerang Belanda, lalu semua misionaris Jerman di Hindia Belanda ditangkap ("di-intern"), termasuk Bapak Paul Kroh. Sedangkan Ibu Martha Kroh bersama anak – anak dipindahkan ke Sarangan. Dan oleh karena PD II langsung disusul Perang Kemerdekaan, maka lebih dari satu dekade para misionaris  Jerman tidak dapat kembali ke tanah Jawa. Patut disyukuri bahwa sebelum tahun 1940 jemaat Bojonegoro sudah mandiri dan memiliki Pandhita Jawa, yaitu Bp. Pdt. R. Soetjipto. Sehingga pelayanan yang ditinggal oleh kel. Kroh bisa diambil alih dan dilanjutkan oleh Bp. Pdt. R. Soetjipto.

Bapak Soetjipto harus bekerja keras untuk mempertahankan eksistensi jemaat baik di Bojonegoro maupun jemaat-jemaat pedesaan di sekitarnya. Pada zaman penjajahan Jepang keadaan jemaat semakin memprihatinkan. Karena kekejaman Jepang, orang-orang Kristen baik di kota maupun di desa semakin berkurang, akibat penganiayaan dan intimidasi. Sampai-sampai gedung gereja di Bojonegoro dirampas dan dijadikan gedung sandiwara. Begitu juga segala peralatan gereja dirampas sehingga jemaat di Bojonegoro, waktu itu harus kebaktian di rumah – rumah.



Karena masih mengadakan aktivitas gerejawi itu, suatu saat bapak Soetjipto pernah harus dibui/dipenjara dan diinterogasi oleh penjajah Jepang. Akan tetapi dia pun segera dibebaskan.

Masa Pertumbuhan kembali 1950 – Sekarang

Pada tahun 1950-an jemaat Bojonegoro mulai mengalami pencerahan. Berdirilah pepathan baru, mulai dari Barat yaitu Padangan, Kendung, Kalitidu terus ke Timur Sugihwaras, Sumberejo, Sroyo, Babat, Lamongan, Sumber Gondang dan Ngasemlemahbang. Ke arah Selatan yaitu Mojoranu, Kwangenrejo, Dander, Bobolan, Kedungadem, Gares, Tondomulo; sedangkan ke Utara yaitu Cengkong, Jatirogo dan Tuban.

Pada tahun 1954 Bp. Paul Kroh juga sempat berkunjung ke tanah Jawa lagi, terutama untuk menyerahkan tanah – tanah zending kepada pasamuan dengan atas nama pendeta – pendeta jemaat, dalam hal ini di Bojonegoro kepada Pdt. R. Soetjipto.

Pada tahun 1958 bapak Soetjipto  mendirikan Sekolah Alkitab "Sabdo Mulyo" dibantu oleh seorang misionaris dari Jerman, Bp. Detmar Scheunemann. Pendirian Sekolah Alkitab itu dengan harapan menelurkan hamba – hamba Tuhan yang mau membantu pelayanan di daerah sekitar atau daerah – daerah yang lain. Dari Sekolah Alkitab ini kemudian menelurkan tokoh – tokoh GKJTU, antara lain Bp. Sudjoko Paulus (mantan Sekretaris I MPH Sinoe GKJTU) dan Bp. Setianto (mantan Ketua MPH sinode GKJTU) dan lain – lain.

Dalam perkembangan selanjutnya, dari GKJTU Jemaat Bojonegoro ini kemudian munculah gereja – gereja tetangga antara lain Gereja Advent Hari Tujuh, Gereja Katolik, Gereja Kristen Indonesia, Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat, Gereja Kristen Jawi Wetan dan lain – lain di wilayah Bojonegoro.

Pada tahun 1995 beliau pula yang mendorong agar gedung gereja GKJTU segera direnovasi karena sudah tidak memenuhi syarat untuk tempat ibadah. Berkat Tuhan, tumbuhlah semangat membangun dari warga jemaat maka tanggal 24 Juni 1995 dilaksanakan peletakan batu pertama untuk membangun gedung geraja yang baru oleh Bpk. Pdt. R. Soetjipto dan dapat diselesaikan dan pada tanggal 27 Desember 2003.

Pada tanggal 22 Pebruari 1999 Bp. R. Soetjipto dipanggil Tuhan dalam usia yang ke – 89 tahun. Setelah Bapak Pendeta R. Soetjipto dipanggil Tuhan digantikan oleh putranya yaitu Bpk. Pendeta Permadi. Dan oleh karena gedung yang baru tersebut GKJTU Bojonegoro mendapat banyak simpatisan terutama dari karyawan Petro China East Java dan Exon Mobil Oil Cepu dimana kedua perusahaan tersebut bergerak dibidang perminyakan . Dan karyawan – karyawan itu banyak membantu dibidang pembangunan gedung Gereja serta pertumbuhan GKJTU Jemaat Bojonegoro.

Bapak Pdt. Permadi Emiritus 17 Agustus 2010 dan bersamaan dengan itu di tahbiskan pendeta baru yatiu Pdt. Akris Mujiyono, yang menjadi Pendeta hingga sekarang ini. [lipsus/red/sbc]

08 Juni 2018

Kader PDI Perjuangan Bojonegoro & Anak-anak Yatim Ziarah Makam Bung Karno

    Jumat, Juni 08, 2018  
SeputarBojonegoro.com  - Ratusan Kader PDI (Partai Demokrasi Indonesia)  Perjuangan DPC Bojonegoro melakukan Ziarah Makam Bung Karno di Kabupaten Blitar bersama anak anak Yatim,Jum'at (8/6/18).

Kegiatan Ziarah Makam presiden Pertama Republik Indonesia ini dalam rangka memperkuat ingatan perjuangan dan pengabdian Bung Karno terhadap Tanah Air, Bangsa, Negara dan Rakyat Indonesia.

PLT Ketua DPC PDI Perjuangan Kab. Bojonegoro, H. Abidin Fikri, S.H., M.H. menyampaikan bahwa Tradisi ziarah dalam Bulan Bung Karno sekaligus Bulan Ramadhan ini akan diikuti oleh kurang lebih seratus orang. Rombongan  berangkat dari Kantor DPC PDI  Perjuangan Kab. Bojonegoro dengan menaiki tiga bus pada hari Jumat, 8 Juni 2018, pukul 07.00 pagi ini.

"Dengan Ziarag ini kami mengajak masyarakat untuk mengibgat kembali Perjuangan Bung Karno dan juga tradiai Ziarah Kubur pada Bulan Ramadhan," Terang Abidin Fikri.

Pria yang juga anggota DPR RI dari dapil 9 Bojonegoro dan Tuban ini juga mengatakan bahwa Ziarah makam Bung Karno akan diisi oleh doa bersama dan refleksi  mengenang dan penghormatan terhadap perjuangan suci Bung Karno yang semasa hidupnya diabdikan untuk keselamatan bangsa dan Negara. (SBC)


19 Oktober 2017

Grebeg Berkah Bojonegoro

    Kamis, Oktober 19, 2017  
Oleh: Gampang Prawoto


suarabojonegoro.com - Grebeg Berkah merupakan tradisi rutin yang diadakan setiap tahun oleh panitia HJB untuk memperingati hari lahirnya kota Bojonegoro. Grebeg Berkah yang terdiri dari kata "grebeg" dan kata "berkah" Apa yang menjadi pertimbangan hingga grebeg itu diberikan nama "grebeg berkah" yang hingga kini menjadi ikon kabupaten yang selalu basah bermandikan sumber daya alam itu.

Merujuk asal usul kata ditinjau dari maknanya Kata "grebeg" sendiri merupakan tradisi khas jawa untuk menyambut hari-hari khusus seperti: Hari jadi kota (hari lahirnya kota). Mulud (kelahiran Nabi Muhammad), Syawal (lebaran), Idul Adha, Suro (Tahun Baru Jawa). Puncak perayaan ini ialah saat perebutan hasil bumi, makanan, dll yang disusun membentuk gunung. Tradisi rebutan didasari oleh falsafah Jawa ora obah ora mamah yang artinya, jika tidak berusaha tidak makan. Sedangkan, bentuk gunung memiliki maksud dari masyarakat jawa atas rasa syukur pada sang pencipta.

Berkah/ber·kah/ n karunia Tuhan yang mendatangkan kebaikan bagi kehidupan manusia; berkat. Menurut bahasa, berkah --berasal dari bahasa Arab: barokah (البركة), artinya nikmat (Kamus Al-Munawwir, 1997:78). Istilah lain berkah dalam bahasa Arab adalah mubarak dan tabaruk.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:179), berkah adalah “karunia Tuhan yang mendatangkan kebaikan bagi kehidupan manusia”.

Menurut istilah, berkah (barokah) artinya ziyadatul khair, yakni “bertambahnya kebaikan” (Imam Al-Ghazali, Ensiklopedia Tasawuf, hlm. 79).
Para ulama juga menjelaskan makna berkah sebagai segala sesuatu yang banyak dan melimpah, mencakup berkah-berkah material dan spiritual, seperti keamanan, ketenangan, kesehatan, harta, anak, dan usia.

Tertulis dalam Syarah Shahih Muslim karya Imam Nawawi disebutkan, berkah memiliki dua arti: (1) tumbuh, berkembang, atau bertambah; dan (2) kebaikan yang berkesinambungan. Menurut Imam Nawawi, asal makna berkah ialah “kebaikan yang banyak dan abadi”.

Keseharian kita sering mendengar kata "mencari berkah", bermaksud mencari kebaikan atau tambahan kebaikan, baik kebaikan berupa bertambahnya harta, rezeki, maupun berupa kesehatan, ilmu, dan amal kebaikan (pahala).

Kata "Berkah' dalam Al-Quran
Dalam Al-Qur`an kata berkah (barakah) hadir dengan beberapa makna, di antaranya: kelanggengan kebaikan, banyak, dan bertambahnya kebaikan. Al-Quran sendiri merupakan berkah bagi manusia sebagaimana firman-Nya:

"Ini (Al-Quran) adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu, penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya orang-orang yang mempunyai pikiran mendapatkan pelajaran.” (QS. Shaad: 29).

Berkah dalam arti kebaikan, keselamatan, dan kesejahteraan tercantum dalam ayat berikut ini:
"Jika sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi." (QS. Al-A'raf: 96).

Kata "Berkah" dalam Hadits
Dalam hadits juga banyak ditemukan kata berkah, semuanya mengarah pada kebaikan dan pahala.

"Berkumpullah kalian atas makanan dan sebutlah nama Allah, maka Allah akan memberikan keberkahan pada kalian di dalamnya." (HR. Abu Daud)

"Ya Allah, berkahilah umatku yang (bersemangat ) di pagi harinya." (HR. Abu Daud).
Grebeg Berkah yang di selenggarakan di Bojonegoro merupakan puncak acara memperingati hari jadi Kabupaten Bojonegoro (HJB  340 ) yang dijatuhkan pada setiap tanggal 20 Oktober  tepat.

Dari kilas pandang pengertian "Grebeg Berkah" tidak bisa dimaknai dari satu sudut pandang saja, banyak sila-sila yang mendasar sebagai pedoman dalam pelaksanaan "grebeg berkah".

Grebeg berkah akan dapat terlaksana apabila pertama adanya niat baik, kedua rela berkurban , ketiga menyatu dengan keikhlasan (berbuat tanpa pamrih baik antar sesama alam, mahluk dan Tuhannya), keempat kesadaran rasa bersyukur, dan kelima totalitas pendekatan dan penyerahan diri pada Tuhannya.

Dapat disimpul bahwasanya "grebeg berkah"  merupakan "Pengejawantahan laku yang sejalan seiring lahir dan batin sesama manusia menuju Tuhannya"  yang tervisualisasi dan tertuang dalam perayaan  grebeg berkah sebagai rasa syukur atas nikmat yang tergelar melimpah  ruah dari atas bumi dan jagad alam raya seisinya  atas kuasa Tuhan Yang Maha Pemurah, Pengasih, dan Penyayang.

Sastrowidjojo,19102017

Foto: Dok. Kodim Bojonegoro

04 Oktober 2017

Sepasang Karambit Untuk Kabaharkam Mabes Polri

    Rabu, Oktober 04, 2017  
Reporter : Bima Rahmat

suarabojonegoro.com - Bertempat di alun-alun Kota Bojonegoro, ratusan Pesilat hari ini dengan penuh semangat mengikuti rangkaian deklarasi Bojonegoro Kampung Pesilat (BKP). Ratusan pesilat yang terdiri dari tiga belas perguruan tersebut diantaranya adalah Margaluyu,  Bunga Islam,  PSHW  Winongo,  Rasa,  Rajekwesi,  Melati Putih, Cempaka Putih,  Persinas  ASAD,  Pangastuti,  Perisai Diri,  Tapak Suci,  PSHT,  Kera  Sakti,  Macan Telaga  Merah,  Pencak Organisasi dan Pagar Nusa, yang kesemuanya adalah merupakan anggota Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) Bojonegoro. Selasa (03/10/17).

"Dengan di deklarasikannya BKP ini, kami berharap dapat menciptakan suasana Bojonegoro yang kondusip", kata Sekertaris IPSI Bojonegoro, Sasmito Anggoro.

Dalam rangkaian deklarasi BKP tersebut, nampak ribuan pesilat dengan kompak memperagakan jurus tunggal. Dimana jurus tunggal tersebut merupakan jurus baku dan jurus wajib IPSI.

"Jurus tunggal ini sebagai jembatan para pesilat untuk berkomunikasi, dan jurus ini sebagai salah satu kategori diajang pertandingan", tambahnya.

Dikesempatan deklarasi BKP, tersebut dihadiri oleh Kabaharkam Polri, Komjen Pol, Drs. Patut Eko Bayuseno. Apel ini disaksikan  oleh Kapolres Jawa Timur, Irjen. Polisi.Drs. Machfud  Arifin, SH.  Kakorbinmas Baharkom Polri, Irjen Pol Drs  Arkian Lubis, SH. Bupati Bojonegoro, dokter Suyoto, Msi,  Kapolres Bojonegoro, AKBP Wahyu Sri Bintoro serta pimpinan DPRD Kabuapten Bojonegoro.

Dengan diwakili oleh para senior dari berbagai perguruan silat, Kabaharkam Polri, Komjen Pol, Drs. Patut Eko Bayuseno, mendapatkan cindra mata dari para pesilat yakni sepasang Karambit. Yakni senjata khas dari tanah Minagkabau sebagai perlambang kepada Institusi Polri yang pedulu tentang Budaya Pencak Silat.

Perlu diketahui bahwa Kerambit adalah pisau genggam kecil berbentuk melengkung dari Asia Tenggara, khususnya Indonesia, Malaysia, Pilipina. Dunia Barat menyebut pisau ini karambit, sedangkan di Minang disebut kurambiak/karambiak. Senjata ini termasuk senjata berbahaya karena dapat digunakan menyayat maupun merobek anggota tubuh lawan secara cepat dan tidak terdeteksi.

"Senjata Karambit ini merupakan senjata pendek yang mematikan setelah Pistol", jelasnya.

Dirinya menjelaskan dengan cendra mata yang diberikan untuk Kabaharkam Polri, Komjen Pol, Drs. Patut Eko Bayuseno adalah sebagai bentuk penghargaan Insan Silat kepada Kepolisian.

"Erima kasih kami ucapkan kepada Kepolisian yang telah peduli terhadap Budaya Pencak Silat", pungkasnya. (Bim/red).

23 Agustus 2017

SUSUKU TUBAMU

    Rabu, Agustus 23, 2017  
Oleh: Gampang Prawoto

suarabojonegoro.com -  Negara itu tidak pernah merdeka karena dalam kamus bahasa (itupun kalau punya kamus) tidak ada istilah pejuang atau perjuangan merebut kemerdekaannya dari penjajah.
Kemerdekaan baginya sebuah hadiah yang diberikan penjajah pada negara yang di jajah itu. Yah apalah artinya kemerdekaan baginya karena dalam negara itu rakyat sekedar wayang tanpa mampu bergerak, berkata,  apalalagi lantang bersuara.

Negara itu pernah mengalami musibah kelaparan tak ada satu negara yang membantunya bahkan negara yang memerdekakannya juga tidak ambil pusing bahkan diterlantarkannya. Satu satunya negara di dunia yang peduli padanya hanya negara INDONESIA , dengan cekatan mengirimkan bahan pangan ke negara hingga rakyat negarara yang katanya serumpun itu, mengirim obat obatan sekaligus tenaga medis untuk mengobati rakyat negara yg merasa kaya itu, bahkan mengirim guru untuk mengajar rakyat negara itu yang waktu itu masih banyak yg kurang mengenyam pendidikan. Dari semua itu ada beasiswa mahasiswa (gratis)  ke Indonesia utamanya jurusan kedokteran. Hingga saat ini masih dapat  di lihat puing puing bekas asrama mahasiswa di tiap kota , di tiap perguruan tinggi ternama Indonesia.

Kami bangsa indonesia tidak mengungkit segala sesuatu yang pernah kami perbuat, kami tidak meminta balasasan apa apa , hanya "tersenyumlah  ramah dengan  bangsa Indonesia dari hati yang paling dalam". Jangan sampai terlontar " air susu kau balas dengan air tuba".
Saat benderaku terbalik di negaramu sebuah tanda bukti tabiatmu segelap malam tanpa cercah bintang dan rembulan.

Sanggar Sastrowidjojo, 21082017

18 Agustus 2017

Tugu Prasasti Proklamasi, Tulisan Tangan Mbah Muchit Muzadi

    Jumat, Agustus 18, 2017  
Oleh : Joyo Juwoto

TUBAN, suarabojonegoro.com - Masyarakat Bangilan Tuban tentu mengenal sosok kiai karismatik, Mbah Muchit Muzadi, baik itu dari golongan generasi tua hingga yang muda-muda. Mbah Muchit tidak hanya dikenal oleh masyarakat Bangilan saja, namun nama beliau dikenal hampir di seluruh pelosok nusantara, khususnya oleh warga nahdliyin. Karena beliau adalah termasuk tokoh sepuh NU, semenjak NU berdiri hingga di akhir hayatnya (Jember, 2015)  beliau berperan aktif sebagai pengawal perjalanan sejarah NU dan bangsa ini, sehingga tak mengherankan jika Mbah Muchit Muzadi dijuluki sebagai pakar khittah NU 1926.


KH. Muchit Muzadi
       
Mbah Muchit Muzadi adalah salah satu putra terbaik Bangilan yang berhasil menorehkan tinta emas sejarah baik sebagai tokoh NU, tokoh bangsa, maupun dengan karya-karya tulis beliau yang cukup banyak. Salah satunya beliau menulis buku kalau tidak salah berjudul “Menjadi NU Menjadi Indonesia”. Tidak heran memang jika mbah Muchit sangat mencintai negerinya tercinta Indonesia, karena beliau ikut serta berjuang mengisi dan membangun peradaban bangsa melalui kiprahnya di organisasi terbesar yang ada di Indonesia ini.

Salah satu peninggalan mbah Muchit yang ada di Bangilan selain rumah kelahiran beliau adalah tugu proklamasi yang ada di depan pasar Bangilan. Mungkin tidak semua orang tahu jika tulisan teks proklamasi yang ada di bawah pohon beringin di depan pasar Bangilan adalah asli tulisan tangan beliau.


Tulisan Tangan Mbah Muchit

Menurut saya, sejarah sangat penting untuk diketahui oleh generasi muda sekarang, agar mereka mengenal dengan betul orang-orang terdahulu yang telah berjasa untuk bangsanya. Karena salah satu dari fungsi sejarah adalah memberikan identitas kepada masyarakat. Oleh karena itu Bung Karno menyatakan bahwa, "Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa para pahlawannya". Orang yang tidak tahu akan sejarah bangsanya akan sulit untuk mencintai dan menghargai hasil perjuangan para pendahulunya. Maka kenalilah sejarah bangsamu.
       
Saya sendiri juga baru tahu jika tugu proklamasi yang ada di depan pasar Bangilan memiliki nilai historis setelah mendapat cerita dari KH. Yunan Jauhar (Gus Yunan), pengasuh pondok pesantren ASSALAM Bangilan Tuban, yang masih kerabat dekat Mbah Muchit Muzadi.  Menurut Gus Yunan,  mbah Muchit adalah tokoh yang sangat konsen dalam memperjuangkan NU dan bangsa Indonesia. Beliau adalah santri langsung dari KH. Hasyim Asy’ari pendiri NU.

Jika dalam sejarah kemerdekaan Indonesia teks asli proklamasi diketik oleh Sayuti Melik, maka di Bangilan ada teks proklamasi yang dijadikan tugu peringatan dan prasasti kemerdekaan di depan pasar Bangilan, dan penulisnya adalah Mbah Muchit Muzadi, salah satu putra terbaik yang terlahir dari rahim bumi Bangilan. Semoga tulisan sederhana ini bisa menjadi pengingat bagi generasi kita sekarang. Jas Merah, Jangan Sekali-sekali Melupakan Sejarah. Salam. (JW)

Penulis AdalahAnggota Komunitas Kali Kebing, Santri,  dan Penulis Buku "Jejak Sang Rosul

17 Agustus 2017

Perjuangan Pasukan TGP, Jembatan Kaliketek Jadi Saksi Bisu

    Kamis, Agustus 17, 2017  

suarabojonegoro.com -  Meskipun masih berdiri kokoh, namun karat tebal menyelimuti rangka jembatan kali ketek yang terbuat dari besi baja,itulah kondisi bangunan yang menjadi saksi bisu di era peperangan melawan kolonial belanda yang ada di kota minyak . 

Pada masa penjajahan kolonial belanda tepatnya pada tahun 1914, belanda yang ada di kota minyak ini membangun jembatan dengan panjang 111 meter, Hal tersebut dimaksudkan untuk memudahkan belanda untuk mengangkut rempah rempah dari Bojonegoro untuk dibawa pulang ke Belanda dengan mengunakan alat transportasi kereta api dari stasiun Bojonegoro ke stasiun Jatirogo Kabupaten Tuban, lalu menggangkutnya dengan mengunakan Kapal Laut. 

Bukan hanya itu, Belanda juga membangun jembatan yang terbuat dari kayu jati untuk dilintasi roda empat dan pejalan kaki tepat di sebalah kiri jembatan yang saat ini masih bisa dilihat. Sementara itu, melihat sejarah perang kemerdekaan Republik Indonesia (RI) pada tahun 1945 -1949. jembatan kali ketek menjadi saksi bisu peperangan dengan kolonial Belanda yang saat itu tentara Belanda bermarkas di Kepatihan dan sekarang ini menjadi Jl. Hayam wuruk , tepat disebelah barat gereja Pantakosta. 

Menurut Waras (71) warga Desa Banjarejo Balai Rt 19 Kecamatan Kota Bojonegoro, dimana dirinya menjadi saksi tragedi peperangan tentara RI dan tentara belanda yang dilakukan jembatan. “jembatan besi tersebut menjadi area peperang antara tetara RI dan tentara Belanda,dan pada waktu itu,” terang pria yang seharinya berprofesi sebagai pandai besi, Kamis (17/8/17).

Bukan hanya itu jembatan yang dibangun sebagai jalur penyebrangan Desa Banjarjo kecamatan kota dan Desa Banjarsari kecamatan trucuk itu sempat dihancurkan dengan meledakan bom tepat dipertengahan jembatan. Hal tersebut dilakukan belanda sendiri, sebab tentara belanda mendengar ada tentara Jepang yang ingin masuk ke Bojonegoro tepatnya pada tahun 1943.

“ pada pada masa itu tentera belanda yang meledakan bom tepat di bagian tengah jembatan untuk menghalangi tentaran jepang agar tidak masuk kewilayah Bojonegoro.” Lanjutny¬a saat di jumpai di rumahnya, Selasa(19/08).

Namun usaha belanda gagal dalam menghalau tentara Jepang agar tidak masuk ke Bojonegoro , sebab tentara jepang masuk di wilayah Bojonegoro tidak melalui jembatan kali ketek, melainkan masuk dari Gelendeng .

Mendengar tentara jepang berhasil masuk Ke Bojonegoro , perlahan lahan tentara belanda mundur dengan sendirinya, Hal itu membuat jumlah tentara belanda yang ada di Bojonegoro sedikit. “ jadi pemutusan jembatan yang dilakukan oleh Belanda sia sia, sebab tentara Jepang masuk melalui Gelendeng yang pada waktu itu sudah ada jembatan yang di buat dari kayu randu,” jelasnya.

Setelah tentara Jepang berhasil menduduki wilayah Bojonegoro dan pada 14-15 Agustus 1945 dua kota besar yang ada di Jepang antara lain Hirosima dan Nagasaki diluluh lantahkan oleh tentara Amerika Serikat dengan mengunakan bom atom sehingga mengakibatkan kekosongan pemimpin (vacum of power).

Hal tersebut membuat tentara Jepang yang ada di indosnesia pulang ke negerinya sendiri, mendengar hal tersebut tentara belanda kembali ke Bojonegoro dan ingin menduduki kota minyak ini. Namum tentara Indonesia yang tergabung dalam pasukan tentara genie pelajar (TGP) melawan tentara belanda dengan bekal strategi perang yang di pelajari dari tentara Jepang .

Sementara itu Munir (69) warga Desa Mbanjarsari Kecamatan Trucuk yang juga menjadi saksi bersejarah tersebut menjelaskan bahwa, pada Tanggal 23 Desember 1948 jembatan kali ketek kembali di hancurkan oleh yang dilakukan oleh tentara TGP dengan beberapa buah bom, tapi tidak seperti ledakan bom yang dilakukan oleh tentara Belanda sendiri.

“ kita sekarang ini masih bisa lihat dari bentuk pondasi dan tiang jembatan yang tidak sama,” Terangnya. Dalam peledakan bom yang di letakkan di tiang jembatan bagian tengah dengan tujuan untuk memutuskan jembatan kali ketek yang dilakukan oleh beberapa tentara TGP antaranya, Djoko Basuki, Djoko Mulyono, Djoko Sarwo Suwanto dan Sutiarjo . 

Seiring dengan berjalannya waktu dangan di bangunnya jalur kereta api lintas utara jawa,dan pada tahun 1998 jembatan tersebut sudah tidak lagi difungsikan oleh PT KAI berbarbarengan dengan dihentikannya oprasional kereta api jurusan jatirogo Bojonegoro. Melihat sejarah jembatan kali ketek yang menjadi area peperangan tentunya tidak heran jika jembatan tersebut masih dikenang oleh masyarakat, sehingga tidak heran jika jembatan tersebut menjadi cagar budaya milik Bojonegoro.

Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata (Disbudpar) Bojonegoro, melalui kasi pelestarian budaya tradisional Supriadi saat dikonfirmasi terkait pegukuhan jembatan kali ketek menjadi cagar budaya pihaknya menjelaskan bahwa, pihaknya sekarang ini masih menggodok tahap tahap pengukuhannya salah satunya dengan dilakukan observasi dengan mendatangkan tim ahli.

“Kami sudah melakukan tahapn pengukuhan kali ketek sebagai cagar budaya, ” terang supardi saat di temui di kantornya Tak berhenti disitu saja jembatan kali ketek yang menjadi bukti bersejarah peperangan melawan Belanda, hingga sat ini masih di kenang oleh masyarakat, terbukti tidak sedikit orang yang sekedar melepas penat untuk melihat pesona keindahan Begawan Solo dan melihat bagunan bersejarah tersebut. (Mahmudi)

Gelorakan Semangat Kebangsaan, Kodim 0815 Mojokerto Kibarkan Sang Merah Putih Secara Serentak

    Kamis, Agustus 17, 2017  
Reporter : Bima Rahmat

suarabojonegoro.com -  Menjelang Peringatan HUT Ke-72 Kemerdekaan Republik Indonesia, Kodim 0813 Bojonegoro laksanakan pengibaran Bendera Merah Putih dengan ukuran besar dan variatif. Pengibaran Bendera Merah Putih dengan ukuran besar tersebut,  Pengibaran bendera ini juga dilakukan secara serentak di seluruh jajaran Koramil yang ada di wilayah Kodim 0813 Bojonegoro yakni sejumlah 32 Bendera dengan ukuran yang variatif dan serentak di jajaran Kodim ataupu seluruh Kecamatan yang ada Instansi Militernya.

"Kita jajaran Angkatan Darat khususnya yang ada di Kodam 5 Brawijaya di Kodim 0813 Bojonegoro, ini melakukan pengibaran Bendera Merah Putih dengan ukuran besar secara variatif dan serentak diseluruh jajaran Kodim 0813 Bojonegoro", kata Dandim 0813 Bojonegoro, Letkol Inf Herry Subagyo .

Bendera dengan ukuran yang paling kecil adalah 4X6 meter, serta yang paling besar telah dikibarkan dengan prosesi pengibaran Bendera di Desa Pacul, Kecamatan Bojonegoro dengan deameter 12X8 meter.

Adapun pengibaran Bendera tersebut di kibarkan diketinggian yang ada di wilayahnya masing-masing seperti, Tower Telkom, Tower PLN dan tempat ketinggian lainnya dengan ketinggian minimal 25 meter dan maksimal 75 meter.

"Kegiatan ini adalah untuk memeriahkan HUT Ke 72 Republik Indonesia. Dan untuk membangkitkan semangat, motivasi perjuangan kemerdekaan, agar tidak luntur. Dan kita berharap agar warga Negara khususnya yang ada di wilayah Kabupaten

Bojonegoro ini kembali untuk bangkit, semangat membangun Negara ini. Melupakan perbedaan Suku, Agama, Bahasa kita menjadi satu kesatuan untuk bersama sama dalam momentum pengibaran Bendera", tambahnya.

Kepada awak media Pria yang Pernah menjabat Komandan satgas Batalyon Komposit TNI Kontingen Garuda XXXV-A/Unamid (United Nations Mission In Darfur) mengajak kepada seluruh masyarakat Bojonegoro untuk bisa menghadiri acara doa bersama yang digagas oleh Panglima TNI yang dilaksanakan pada tanggal 17 Agustus yang tepat dimulai pada pukul 17.00.

"Khusus untuk dalam kota, bagi umat muslim doa bersama digelar di Masjid Al-Askar Makodim 0813 Bojonegoro. Sedangkan umat Kristen/Katolik di Gereja Katolik Santo Paulus Jalan Panglima Sudirman No. 25 Bojonegoro, dan bagi yang beragama Hindu/Budha doa bersama di Klenteng Hok Swie Bio, Jalan WR. Supratman", pungkasnya. (Bim/red).

19 Juli 2017

Pokja Kebudayaan Bojonegoro Akan Gelar Jagong Budaya di Krondonan

    Rabu, Juli 19, 2017  
Reporter: Iwan Zuhdi

suarabojonegoro.com - Kali ini Kelompok kerja (Pokja) Kebudayaan Kabupaten Bojonegoro bakal menggelar kegiatan jagong budaya di Desa Krondonan Kecamatan Gondang Kabupaten Bojonegoro. Kegiatan ini merupakan kegiatan rutin 3 bulan sekali.

"Kali ini Jagong Budaya dilaksanakan di Desa Krondonan dengan tema medang sore-sore," kata Ketua Pokja Kebudayaan Kabupaten Bojonegoro.

Dalam kegiatan tersebut akan mengangkat isu 'mensinergikan potensi alam yang luar biasa di Gondang. Yang layak menjadikan Gondang sebagai Gondang Eksotiknya Bojonegoro.

"Isu yang diangkat adalah mewujudkan Gondang Eksotis.
Adalah bagaimana merangkum sebuah keindahan di Gondang, mampu dinikmati secara utuh," imbuhnya.

Katanya, tentu diperlukan sinergie antara obyek keindahan satu dan lainya, saling menunjang.

Mas Wahyu yang juga ketua IPSI Kabupaten Bojonegoro itu mencontohkan, Desa Krondonan yang dikelilingi bukit yang elok akan menjadi menarik bila disana ada semacam fasilitas rumah singgah untuk menginap bagi wisatawan. "Dan tentunya  perlu ada kesiapan kuliner atau makanan khas untuk menunjang hal tersebut, bakar jagung kek atau rumpuk," paparnya.

Kemudian Desa Sambong yang dilatarbelangi keindahan bukit dan hamparan kembah. Kemudian larikan pohon bawang merah akan sesuai bila dibuatkan rest area dengan fasiliras fotobud (trance kekinian untuk wisatawsn selfie)

Bila itu saling sinergi satu dan lainnya akan mendulang keindahan dengan cerita yang luar biasa dari masing-masing obyek.

"Belum lagi potensi yang lain, sumber Air. Budayanya gotong royong junjung omah. Tari khasnya, lagu khasnya dan manganannya," jelas Mas Wahyu. (wan/lis).

21 April 2016

HARI KARTINI, KOHATI AJAK MAHASISWA MENJADI KARTINI MODERN

    Kamis, April 21, 2016  
Reporter : Rabbani. P
suarabojonegoro.com - Peringatan Hari kartini yang jatuh pada tanggal 21 April 2016 di manfaatkan oleh sekelompok mahasiswa yang tergabung dalam Korps HMI Wati (KOHATI) cabang Bojonegoro  untuk mensosialisasikan betapa besar peran seorang tokoh pejuang perempuan Raden Ajeng Kartini di sejumlah Kampus di Bojonegoro yaitu  UT, IKIP, POLTEK, UNIGORO dan STIEKIA. Pada peringatan kali ini dengan mengenakan kebaya layaknya Raden Ajeng Kartini mereka membagikan sejumlah tulisan dan stiker yang mengajak untuk menjadi seorang Kartini modern.

Sekretaris KOHATI Retno Indrwati mengungkapkan  “Kartini merupakan bagian dari lembaran sejarah yang patut untuk di kenang dan dikagumi, menjadi sosok yang sangat inspiratif bagi wanita modern sekarang ini” paparnya kepada SuaraBojonegoro.com

Dalam kegiatan aksi ini mereka tidak hanya mengajak kaum hawa saja, namun beberapa dosen dan mahasiswa laki – lakipun mereka beri ucapan selamat hari kartini.

Retno juga menambahkan, ketika Kartini dan sanggulnya yang mulai berdebu menyeruak dalam wacana Hari Kartini, perempuan Indonesia mutakhir tetaplah pada tendesi untuk perubahan.

"Meninggalkan Kartini pada zamannya, untuk segera beralih menjadi Kartini modern dalam tatanan sosio-kultural serta mampu berpikir think global act local. Not just sanggul dan kebaya.” pungkas Retno. (Rab/Red)

Foto ilustrasi : kindo.hk

Mari Mengingat Kembali, Biografi R.A Kartini

    Kamis, April 21, 2016  
Reporter : --

suarabojonegoro.com - Tokoh wanita satu ini sangat terkenal di Indonesia. Dialah Raden Ajeng Kartini atau dikenal sebagai R.A Kartini, beliau dikenal sebagai salah satu pahlawan nasional yang dikenal gigih memperjuangkan emansipasi wanita kala ia hidup. Mengenai Biografi dan Profil R.A Kartini, beliau lahir pada tanggal 21 April tahun 1879 di Kota Jepara, Hari kelahirannya itu kemudian diperingati sebagai Hari Kartini untuk menghormati jasa-jasanya pada bangsa Indonesia.

Kartini lahir di tengah-tengah keluarga bangsawan oleh sebab itu ia memperoleh gelar R.A (Raden Ajeng) di depan namanya, gelar itu sendiri (Raden Ajeng) dipergunakan oleh Kartini sebelum ia menikah, jika sudah menikah maka gelar kebangsawanan yang dipergunakan adalah R.A (Raden Ayu) menurut tradisi Jawa.

Ayahnya bernama R.M. Sosroningrat, putra dari Pangeran Ario Tjondronegoro IV, seorang bangsawan yang menjabat sebagai bupati jepara, beliau ini merupakan kakek dari R.A Kartini. Ayahnya R.M. Sosroningrat merupakan orang yang terpandang sebab posisinya kala itu sebagai bupati Jepara kala Kartini dilahirkan.

Ibu kartini yang bernama M.A. Ngasirah, beliau ini merupakan anak seorang kiai atau guru agama di Telukawur, Kota Jepara. Menurut sejarah, Kartini merupakan keturunan dari Sri Sultan Hamengkubuwono VI, bahkan ada yang mengatakan bahwa garis keturunan ayahnya berasal dari kerajaan Majapahit.

Ibu R.A Kartini yaitu M.A. Ngasirah sendiri bukan keturunan bangsawan, melainkan hanya rakyat biasa saja, oleh karena itu peraturan kolonial Belanda ketika itu mengharuskan seorang Bupati harus menikah dengan bangsawan juga, hingga akhirnya ayah Kartini kemudian mempersunting seorang wanita bernama Raden Adjeng Woerjan yang merupakan seorang bangsawan keturunan langsung dari Raja Madura ketika itu.
R.A Kartini Bersama Saudara-Saudaranya
R.A Kartini sendiri memiliki saudara berjumlah 11 orang yang terdiri dari saudara kandung dan saudara tiri. Beliau sendiri merupakan anak kelima, namun ia merupakan anak perempuan tertua dari 11 bersaudara. Sebagai seorang bangsawan, R.A Kartini juga berhak memperoleh pendidikan.

Ayahnya kemudian menyekolahkan Kartini kecil di ELS (Europese Lagere School). Disinilah Kartini kemudian belajar Bahasa Belanda dan bersekolah disana hingga ia berusia 12 tahun sebab ketika itu menurut kebiasaan ketika itu, anak perempuan harus tinggal dirumah untuk 'dipingit'.

Pemikiran-Pemikiran R.A Kartini Tentang Emansipasi Wanita
Meskipun berada di rumah, R.A Kartini aktif dalam melakukan korespondensi atau surat-menyurat dengan temannya yang berada di Belanda sebab beliau juga fasih dalam berbahasa Belanda. Dari sinilah kemudian, Kartini mulai tertarik dengan pola pikir perempuan Eropa yang ia baca dari surat kabar, majalah serta buku-buku yang ia baca.

Hingga kemudian ia mulai berpikir untuk berusaha memajukan perempuan pribumi sebab dalam pikirannya kedudukan wanita pribumi masih tertinggal jauh atau memiliki status sosial yang cukup rendah kala itu.

R.A Kartini banyak membaca surat kabar atau majalah-majalah kebudayaan eropa yang menjadi langganannya yang berbahasa belanda, di usiannya yang ke 20, ia bahkan banyak membaca buku-buku karya Louis Coperus yang berjudul De Stille Kraacht, karya Van Eeden, Augusta de Witt serta berbagai roman-roman beraliran feminis yang kesemuanya berbahasa belanda, selain itu ia juga membaca buku karya Multatuli yang berjudul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta.
 ...Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu - (R.A Kartini)."
Ketertarikannya dalam membaca kemudian membuat beliau memiliki pengetahuan yang cukup luas soal ilmu pengetahuan dan kebudayaan, R.A Kartini memberi perhatian khusus pada masalah emansipasi wanita melihat perbandingan antara wanita eropa dan wanita pribumi.

Selain itu ia juga menaruh perhatian pada masalah sosial yang terjadi menurutnya, seorang wanita perlu memperoleh persamaan, kebebasan, otonomi serta kesetaraan hukum.

Surat-surat yang kartini tulis lebih banyak berupa keluhan-keluhan mengenai kondisi wanita pribumi dimana ia melihat contoh kebudayaan jawa yang ketika itu lebih banyak menghambat kemajuan dari perempuan pribumi ketika itu. Ia juga mengungkapkan dalam tulisannya bahwa ada banyak kendala yang dihadapi perempuan pribumi khususnya di Jawa agar bisa lebih maju.

Kartini menuliskan penderitaan perempuan di jawa seperti harus dipingit, tidak bebas dalam menuntuk ilmu atau belajar, serta adanya adat yang mengekang kebebasan perempuan.

Cita-cita luhur R.A Kartini adalah ia ingin melihat perempuan pribumi dapat menuntut ilmu dan belajar seperti sekarang ini. Gagasan-gagasan baru mengenai emansipasi atau persamaan hak wanita pribumi olah Kartini, dianggap sebagai hal baru yang dapat merubah pandangan masyarakat. Selain itu, tulisan-tulisan Kartini juga berisi tentang yaitu makna Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan, peri kemanusiaan dan juga Nasionalisme.

Kartini juga menyinggung tentang agama, misalnya ia mempertanyakan mengapa laki-laki dapat berpoligami, dan mengapa mengapa kitab suci itu harus dibaca dan dihafal tanpa perlu kewajiban untuk memahaminya.

Teman wanita Belanda nya Rosa Abendanon, dan Estelle "Stella" Zeehandelaar juga mendukung pemikiran-pemikiran yang diungkapkan oleh R.A Kartini. Sejarah mengatakan bahwa Kartini diizinkan oleh ayahnya untuk menjadi seorang guru sesuai dengan cita-cita namun ia dilarang untuk melanjutkan studinya untuk belajar di Batavia ataupun ke Negeri Belanda.

Hingga pada akhirnya, ia tidak dapat melanjutanya cita-citanya baik belajar menjadi guru di Batavia atau pun kuliah di negeri Belanda meskipun ketika itu ia menerima beasiswa untuk belajar kesana sebab pada tahun 1903 pada saat R.A Kartini berusia sekitar 24 tahun, ia dinikahkan dengan K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat yang merupakan seorang bangsawan dan juga bupati di Rembang yang telah memiliki tiga orang istri.

Meskipun begitu, suami R.A Kartini memahami apa yang menjadi keinginan R.A KArtini sehingga ia kemudian diberi kebebasan untuk mendirikan sekolah wanita pertama yang kemudian berdiri di sebelah kantor pemerintahan Kabupaten Rembang yang kemudian sekarang dikenal sebagai Gedung Pramuka.

Pernikahan R.A Kartini Hingga Wafatnya
Dari pernikahannya dengan K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, R.A Kartini kemudian melahirkan anak bernama Soesalit Djojoadhiningrat yang lahir pada tanggal 13 September 1904, Namun miris, beberapa hari kemudian setelah melahirkan anaknya yang pertama, R.A Kartini kemudian wafat pada tanggal 17 September 1904 di usianya yang masih sangat muda yaitu 24 tahun. Beliau kemudian dikebumikan di Desa Bulu, Kabupaten Rembang.

Berkat perjuangannya kemudian pada tahun 1912, berdirilah Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang kemudian meluas ke Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon serta daerah lainnya. Sekolah tersebut kemudian diberi nama "Sekolah Kartini" untuk menghormati jasa-jasanya. Yayasan Kartini ini keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis di era kolonial Belanda.

Terbitnya Buku 'Habis Gelap Terbitlah Terang'
Buku 'Habis Gelap Terbitlah Terang'
Sepeninggal R.A Kartini, kemudian seorang pria belanda bernama J.H. Abendanon yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama dan Kerajinan Hindia Belanda mulai mengumpulkan surat-surat yang pernah ditulis oleh R.A Kartini ketika ia aktif melakukan korespondensi dengan teman-temannya yang berada di Eropa ketika itu.

Dari situ kemudian disusunlah buku yang awalnya berjudul 'Door Duisternis tot Licht' yang kemudian diterjemahkan dengan judul Dari Kegelapan Menuju Cahaya yang terbit pada tahun 1911. Buku tersebut dicetak sebanyak lima kali, dan pada cetakan kelima terdapat surat-surat yang ditulis oleh Kartini.

Pemikiran-pemikiran yang diungkapkan oleh Kartini kemudian banyak menarik perhatian masyarakat ketika itu terutama kaum Belanda sebab yang menulis surat-surat tersebut adalah wanita pribumi.

Pemikirannya banyak mengubah pola pikir masyarakat belanda terhadap wanita pribumi ketika itu. Tulisan-tulisannya juga menjadi inspirasi bagi para tokoh-tokoh Indonesia kala itu seperti W.R Soepratman yang kemudian menbuat lagu yang berjudul 'Ibu Kita Kartini'.

Presiden Soekarno sendiri kala itu mengeluarkan instruksi berupa Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, pada tanggal 2 Mei 1964, yang berisi penetapan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional, Soekarno juga menetapkan hari lahir Kartini, yakni pada tanggal 21 April, diperingati sebagai Hari Kartini sampai sekarang ini.

Munculnya Perdebatan Surat-Surat Yang Ditulis Oleh Kartini.
Banyak perdebatan serta kontrovesi mengenai surat-surat yang ditulis oleh Kartini,  sebab hingga saat ini sebagian besar naskah asli surat Kartini tak diketahui keberadaannya. jejak keturunan J.H. Abendanon pun sulit untuk dilacak oleh Pemerintah Belanda. Banyak kalangan yang meragukan kebenaran dari surat-surat Kartini.

Ada yang menduga bahwa J.H. Abendanon, melakukan rekayasa surat-surat Kartini. Kecurigaan ini didasarkan pada buku Kartini yang terbit saat pemerintahan kolonial Belanda menjalankan politik etis di Hindia Belanda ketika itu, dimana J.H Abendanon sendiri termasuk yang memiliki kepentingan dan mendukung pelaksanaan politik etis dan kala itu ia juga menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama dan Kerajinan Hindia Belanda ketika itu.

Selain itu penetapan tanggal kelahiran Kartini sebagai hari besar juga banyak diperdebatkan. Pihak yang tidak begitu menyetujui, mengusulkan agar tidak hanya merayakan Hari Kartini saja, namun merayakannya bersama dengan hari Ibu yang jatuh pada tanggal 22 Desember.

Alasan mereka adalah agar tidak pilih kasih, sebab masih ada pahlawan wanita lain yang tidak kalah hebat perjuangannya dengan Kartini seperti Dewi Sartika, Cut Nyak Dhien, Martha Christina Tiahahu, dan lain-lain. Menurut sebagian kalangan, wilayah perjuangan Kartini itu hanya di Jepara dan Rembang saja, Kartini juga tidak pernah mengangkat senjata melawan penjajah kolonial.

Buku-Buku R.A Kartini
  • Habis Gelap Terbitlah Terang
  • Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya
  • Letters from Kartini, An Indonesian Feminist 1900-1904
  • Panggil Aku Kartini Saja (Karya Pramoedya Ananta Toer)
  • Kartini Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan suaminya
  • Aku Mau ... Feminisme dan Nasionalisme. Surat-surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar 1899-1903. (Sumber: biografi.com)

23 Februari 2016

Kisah Perdamaian Watu Jogo dan Negeri Atas Angin

    Selasa, Februari 23, 2016  


Reporter: Rabbani. P


suarabojonegoro.com - Adalah sebuah batu yang berada di puncak Bukit Atas Angin, letaknya berada di Desa Deling, Kecamatan Sekar Bojonegoro. Warga setempat menyebutnya Watu Jogo, yang bila diterjemahkan secara bebas berarti Batu Jaga. “Watu Jogo adalah salah satu situs yang ada di situ,” ujar Harinto, salah satu anggota konsorsium 6 Kades di Kecamatan Sekar.
Sedikit cerita dari pria yang juga menjabat sebagai Kepala Desa Bobol, Sekar itu adalah mengenai kisah fungsi dan hal-hal di luar nalar seputar batu tersebut. “Masih ada hubungannya dengan Raden Sujono Poro,” tambahnya. Yakni saat menjelang agresi militer Belanda. Kala itu, Desa Deling sedang dilanda kemarau hebat, Raden Sujono Poro memilih untuk melakukan semedi dengan ditemani oleh seorang pengawalnya.
“Tugas pengawalnya adalah menjaga persemedian Raden Sujono Poro, dengan memilih sebuah batu yang dapat melihat ke segala penjuru sebagai tempat penjagaannya,” tambahnya.
Ratusan tahun sebelumnya, adalah Raden Atas Aji bersama pasangannya yang juga pernah mengungsi ke tempat persemedian Raden Jono Poro, yakni saat berkecamuk perang antara Kerajaan Mataram dengan Kerajaan Pajang. “Pengungsian itu hingga mereka tewas, konon mereka berdua meninggalkan pesan yang hanya bisa didengar melalui persemedian. Pesan itu kekal melalui suara angin yang ada di sekitar tempat persemedian,” tambahnya.
Dikisahkan, dalam persemediannya, Raden Sujono Poro mendengar beberapa suara. Salah satunya adalah mengenai perdamaian antara masyarakat Sekar dengan Madiun, yang suatu saat akan tercapai dengan beberapa syarat, diantaranya adalah datangnya seorang putri baik hati dari Madiun ke Desa Deling.
Adalah Dewi Sri Mulia Asih, seorang gadis cantik yang menyukai bunga kemudian tiba di sekutar Watu Jogo. Dewi Sri Mulia Asih yang melihat bunga-bunga flamboyan mulai berguguran berniat untuk menyiramkan air ke pohon-pohon tersebut.
“Oleh si penjaga, Dewi Sri Mulia Asih disuruh menunggu di bagisn lain bukit itu. Lalu si penjaga menemui Raden Sujono Poro untuk melaporkan hal itu,” lanjutnya.
Raden Jono Poro kemudian meminta agar Dewi Sri Mulia Asih menunggu persemediannya. Lalu dibuatlah sebuah saluran yang mengalirkan airnya melalui lobang dan tembus ke wilayah petbukitan. Airnya membasahi perbukitan dan membuat seluruh tanaman menjadi segar, bahkan karena banyak terkena air dari sendang tersebut, wajah lelah berubah menjadi segar bugar.
Setelah persemediannya usai, mereka bertemu dan saling jatuh cinta. Tersebarlah kabar ini hingga ke Madiun, disusul dengan kedatangan mereka ke wilayah Atas Angin. Raden Sujono Poro dan Dewi Sri Mulia Asih menyambut kedatangan orang-orang Madiun yang marah itu dengan ramah.
Keramahan dan kemesraan mereka berdua yang ditambah dengan pemandangan indah itulah yang meluluhkan hati orang-orang Madiun. “Artinya, itu adalah tempat yang tepat untuk mencari keramahan, cinta, kesejukan hati dan wajah berseri-seri. Karena pada masa itu, dataran tinggi merupakan tempat yang paling mendamaikan hati,” pungkasnya

13 Desember 2015

Ngopi Bareng Para Ketua Silat Bojonegoro, Jadi Ajang Diskusi Budaya

    Minggu, Desember 13, 2015  
Edisi : Minggu, 13 Desember 2015
Penulis : Anggoro

Perguruan silat di Bojonegoro yang sering diindentikan dengan tawuran dan perkelahian, yang biasa juga disebut sering melakukan pertarungan jalanan, sebenarnya harus mampu dicermati lebih dalam oleh Masyarakat, karena terkadang riuh kecil adanya tawuran yang sering di indentikkan dengan silat, kebanyakan mereka bukan warga atau anggota silat.

Kenapa Demikian, sebenarnya inilah Bojonegoro, dengan meningkatnya Budaya Silat dan banyaknya perguruan silat yang ada seringkali diindentikan dengan perkelahian, maupun tawuran, masyarakat harus sedikit mau melihat sisi lain, bahwa adanya tawuran harus dilihat siapa dan bagaimana status si pelaku tawuran.

Selama hampir 4 tahun isu perkelahian antar warga silat sudah tak terdengar lagi yang dulu seringkali disebut, kini sudah bergulir seiring kebutuhan serta peningakatan Sumber Daya Manusia, tak ketinggalan peran dari para ketua perguruan silat Di Bojonegoro yang peduli dan saling membuka diri untuk saling bersilaturahmi antar perguruan silat baik dalam kegiatan seremonial maupun kegiatan santai. 

Seperti yang dilakukan oleh para petinggi silat Di Bojonegoro, ngopi bareng menjadi salah satu media untuk mendekatkan diri baik secara pribadi maupun secara organisasi, "Saatnya kita ini berfikir kedepan, silat ini kan salah satu budaya bangsa saat melawan penjajah belanda dan juga sebagai pembelajaran bela diri, banyak manfaat yang terkandung didalamnya salah satunya adalah ajaran persaudaraan," Kata Didik Rianto, Dari Tapak Suci Putra Muhhamadiya Bojonegoro. 

Wahyu Subagdiyo, Ketua Cabang Persaudaraan Setia Hati Terate, juga menyampaikan bahwa silat ini budaya bangsa yang patut dilestarikan, dengan mengembangkan budaya silat turut juga mengangkat martabat bangsa, "Pengembangan budaya ini tentu tidak mudah harus benar benar dimulai dari diri kita sendiri, dengan mempelajarinya serta memhami nya sebegai bentuk upaya pengembangan," Kata Wahyu, sambil menuang kopi cangkirnya saat ngobrol bareng di kantin Kodim 0813 Bojonegoro. 

"Sekarang sudah saatnya berubah di dunia persilatan Bojonegoro, masyarakat memang harua memahami siapa yang melakukan perkelahian dengan menamakan organisasi silat tertentu, jelas bukan orang silat, Yang harus lebih dipahami mereka adalah oknum," Tambah Tono, Ketua Pencak Organisasi Cabang Bojonegoro. 

Sementara itu mulainya berkembang silat di manca negara terutama Malasiya, memang membuat pelaku Silat berhati hati, karena dengan berkembangnya pencak silat di Malasiya bisa terjadi Klaim yang dilakukan bahwa pencak solat berasal dari negara tersebut.

"Kita semua memang harus menyadari bahwa silat bukan untuk saling beradu kekuatan terhadap bangsa sendiri, namun menjadikan silat sebagai budaya pemersatu bangsa, sehingga kebersamaan antar sesama warga silat bisa tercipta," Sambung Sasmito Anggoro, Ketua Persaudaraan Setia Hati Winongo Bojonegoro. 

Didalan Pencak silat terdapat ragam budaya dan juga pengetahuan dan pendidikan filosofi manusia yang mampu merubah karakter manusia, seperti pendidikan saling menghargai, pendidikan ketaqwaan terhadap tuhan yang maha esa, dan juga gerak dan jurus dalam silat yang sebenarnya mengandung arti kebaikan kepada sesama manusia dan Tuhan.



Masrukin, Ketua Pencak Silat RASA, juga mengamini dari komentar para ketua Pencak Silat lainnya, karena apapun manusia memang tidak lepas dari sejarah dan Budaya yang timbul dan didalam sejarah itu tumbuhlah ajaran ajaran yang mengandung arti pendidikan budi dan pekerti untuk manusia.

Selain membahas budaya silat, para ketua pencak silat Bojonegoro ini juga banyak membahas soal Sejarah Bojonegoro, mulai dari Budaya dan penemuan fosil fosil yang ada juga menjadi diakusi seru soal Bojonegoro di masa lampau. 

Dijelaskan oleh Supangat, ketua Margoluyu Bojonegoro bahwa Bojonegoro memang dalam sejarah tak lepas dari nama nama pendekar besar yang pernah singgah dan hidup di Bumi Bojonegoro pada masa lampau, seperti Sejarah Legenda Angkling Dharma, Sejarah Aryo Penangsang, Dan banyak pendekar pendekar majapahit lainnya dari Bojonegoro maupun yang singgah di Bojonegoro, "dan yang perlu digali adalah sejarah pra sejarah dari hasil hasil penemuan fosil dan benda purbakala gang ada," kata Supangat.

Ada yang perlu dipertanyakan, sebenarnya dan banyak menjadi perranyaan maayarakat Bojonegoro, banyaknya perguruan silat, yang berdiri dan berkembang pesat di Bojonegoro kebanyakan berasal dari luar Bojonegoro, nah... Apakah ini juga ada bagian dari cerita sejarah dan legenda dimasa lalu, bahwa Bojonegoro pernah menjadi persinggahan para pendekar dan para tokoh sejarah dimasa kerajaan?

Bersambung...

20 September 2015

Jembatan Kaliketek, Saksi Bisu Perjuangan Pasukan TGP Bojonegoro

    Minggu, September 20, 2015  
suarabojonegoro.com  - Meskipun masih berdiri kokoh, namun karat tebal menyelimuti rangka jembatan kali ketek yang terbuat dari besi baja,itulah kondisi bangunan yang menjadi saksi bisu di era peperangan melawan kolonial belanda yang ada di kota minyak .

Pada masa penjajahan kolonial belanda tepatnya pada tahun 1914, belanda yang ada di kota minyak ini membangun jembatan dengan panjang 111 meter, Hal tersebut dimaksudkan untuk memudahkan belanda untuk mengangkut rempah rempah dari Bojonegoro untuk dibawa pulang ke Belanda dengan mengunakan alat transportasi kereta api dari stasiun Bojonegoro ke stasiun Jatirogo Kabupaten Tuban, lalu menggangkutnya dengan mengunakan Kapal Laut.

Bukan hanya itu, Belanda juga membangun jembatan yang terbuat dari kayu jati untuk dilintasi roda empat dan pejalan kaki tepat di sebalah kiri jembatan yang saat ini masih bisa dilihat.

Sementara itu, melihat sejarah perang kemerdekaan Republik Indonesia (RI) pada tahun 1945 -1949. Jembatan kali ketek menjadi saksi bisu peperangan dengan kolonial Belanda yang saat itu tentara Belanda bermarkas di Kepatihan dan sekarang ini menjadi Jl. Hayam wuruk , tepat disebelah barat gereja Pantekosta.

Menurut Waras (71) warga Desa Banjarejo Rt 19 Kecamatan Kota Bojonegoro, dirinya mengaku menjadi saksi tragedi peperangan tentara RI dan tentara belanda yang dilakukan jembatan.

“Jembatan besi tersebut menjadi area peperangan antara tentara RI dan tentara Belanda, pada waktu itu,” terang pria yang seharinya berprofesi sebagai pandai besi.

Bukan hanya itu, jembatan yang dibangun sebagai jalur penyebrangan Desa Banjarjo kecamatan kota dan Desa Banjarsari kecamatan trucuk itu sempat dihancurkan dengan meledakan bom tepat dipertengahan jembatan. Hal tersebut dilakukan belanda sendiri, setelah tentara belanda mendengar ada tentara Jepang yang ingin masuk ke Bojonegoro tepatnya pada tahun 1943.

“Pada pada masa itu tentara belanda yang meledakan bom tepat di bagian tengah jembatan untuk menghalangi tentaran jepang agar tidak masuk kewilayah Bojonegoro.” lanjutnya sambil mengenang dan mengingat peristiwa tersebut.

Namun usaha belanda gagal dalam menghalau tentara Jepang agar tidak masuk ke Bojonegoro , sebab tentara jepang masuk di wilayah Bojonegoro tidak melalui jembatan kali ketek, melainkan masuk dari Gelendeng, atau Desa Kalirejo, yaitu perbatasan Bojonegoro Tuban melalui Kecamatan Soko, Tuban.


Mendengar tentara jepang berhasil masuk Ke Bojonegoro , perlahan lahan tentara belanda mundur dengan sendirinya, Hal itu membuat jumlah tentara belanda yang ada di Bojonegoro sedikit.

“Jadi pemutusan jembatan yang dilakukan oleh Belanda sia sia, sebab tentara Jepang masuk melalui Gelendeng yang pada waktu itu sudah ada jembatan yang di buat dari kayu randu,” jelasnya.


 Setelah tentara Jepang berhasil menduduki wilayah Bojonegoro dan pada 14-15 Agustus 1945 dua kota besar yang ada di Jepang antara lain Hirosima dan Nagasaki diluluh lantahkan oleh tentara Amerika Serikat dengan mengunakan bom atom sehingga mengakibatkan kekosongan pemimpin (vacum of power).

Hal tersebut membuat tentara Jepang yang ada di indosnesia pulang ke negerinya sendiri, mendengar hal tersebut tentara belanda kembali ke Bojonegoro dan ingin menduduki kota minyak ini.

Namum tentara Indonesia yang tergabung dalam pasukan tentara genie pelajar (TGP) melawan tentara belanda dengan bekal strategi perang yang di pelajari dari tentara Jepang .

Sementara itu Munir (69) warga Desa Banjarsari Kecamatan Trucuk yang juga menjadi saksi bersejarah tersebut menjelaskan bahwa, pada Tanggal 23 Desember 1948 jembatan kali ketek kembali di hancurkan oleh yang dilakukan oleh tentara TGP dengan beberapa buah bom, tapi tidak seperti ledakan bom yang dilakukan oleh tentara Belanda sendiri.

“ kita sekarang ini masih bisa lihat dari bentuk pondasi dan tiang jembatan yang tidak sama,” Terangnya.

Dalam peledakan bom yang di letakkan di tiang jembatan bagian tengah dengan tujuan untuk memutuskan jembatan kali ketek yang dilakukan oleh beberapa tentara TGP antaranya, Djoko Basuki, Djoko Mulyono, Djoko Sarwo Suwanto dan Sutiarjo .

Seiring dengan berjalannya waktu dangan di bangunnya jalur kereta api lintas utara jawa,dan pada tahun 1998 jembatan tersebut sudah tidak lagi difungsikan oleh PT KAI berbarbarengan dengan dihentikannya oprasional kereta api jurusan jatirogo Bojonegoro.

Melihat sejarah jembatan kali ketek yang menjadi area peperangan tentunya tidak heran jika jembatan tersebut masih dikenang oleh masyarakat, sehingga tidak heran jika jembatan tersebut menjadi cagar budaya milik Bojonegoro.


Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata (Disbudpar) Bojonegoro, melalui kasi pelestarian budaya tradisional Supriadi saat dikonfirmasi terkait pegukuhan jembatan kali ketek menjadi cagar budaya pihaknya menjelaskan bahwa, pihaknya sekarang ini masih menggodok tahap tahap pengukuhannya salah satunya dengan dilakukan observasi dengan mendatangkan tim ahli.

“Kami sudah melakukan tahapn pengukuhan kali ketek sebagai cagar budaya, ” terang supardi saat di temui di kantornya.

Tak berhenti disitu saja jembatan kali ketek yang menjadi bukti bersejarah peperangan melawan Belanda, hingga sat ini masih di kenang oleh masyarakat, terbukti tidak sedikit orang yang sekedar melepas penat untuk melihat pesona keindahan Begawan Solo dan melihat bagunan bersejarah tersebut. (Redaksi)

Foto: kimderumaju

26 Juli 2015

Bojonegoro Pada Zaman Majapahit

    Minggu, Juli 26, 2015  
SuaraBojonegoro - Peninggalan Peninggalan benda benda bersejarah pada masa kerajaan Majapahit, banyak di temukan di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, diperkirakan merupakan benda peninggalan jaman Kerajaan Majapahit, sekitar abad XIV.

Ditemukanya benda peninggalan sejarah ini seperti, Batu bata yang ditemukan di daerah penghasil minyak dan gas Blok Cepu itu dinyakini merupakan peninggalan bersejarah, karena di dekat daerah itu yakni kecamatan Ngasem memang merupakan situs, kata Kasie Sejarah Nitra dan Muskala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Bojonegoro, pada tahun 2011 lalu.

Dari data yang dikumpulkan tim Redaksi suarabojonegoro.com, bahwa di daerah itu banyak ditemukan benda peninggalan sejarah mulai batu bata, hingga benda kuno lainnya dan menjadi sering menjadi sasaran para pemburu benda-benda kuno.


Tumpukkan batu bata tersebut ditemukan Herry, warga Desa Wadang, Kecamatan Ngasem yang sedang mencari benda kuno sepekan lalu. Batu bata yang ukurannya lebih besar sedikit dibandingkan batu bata sekarang ini, ditemukan tertimbun di rumah seorang warga.

Adanya temuan itu, sempat ditinjau Arkeolog dari Universitas Udayana Bali. Berdasarkan perkiraan arkeolog, Nunung Dianawati, batu bata yang masih tertimbun tanah tersebut bekas tangga atau tapal batas di jaman kerajaan Majapahit pada abad XIV-XV.

Ada yang berpendapat, tumpukan batu bata tersebut merupakan bekas pemukiman di jaman kerajaan Majapahit. Sebab, batu bata dengan jenis yang sama juga pernah ditemukan di kawasan api abadi Kahyangan Api di Desa Sendangharjo, Kecamatan Ngasem serta situs Mlawatan di Kecamatan Kalitidu. Batu batu di situs Mlawatan dan situs Kahyangan Api higgga sekarang ini masih belum dilakukan ekskavasi atau penggalian.

Sementara, selain itu, Bojonegoro masih memiliki segudang tinggalan sejarah yang cukup menarik, mulai dari geologi-paleontologi,dengan ditemukannya berbagai macam fosil.

Temuan arkeologi prasejarah hingga klasik pun juga melimpah, mulai dari adanya struktur batu bata, berbagai temuan permukaan seperti pecahan gerabah, pecahan keramik, manik-manik, batu prasasti, lumpang batu,hingga bangunan pada masa Belanda pun masih terdapat di Kota Bojonegoro.

Akan tetapi semua itu belum bisa dimanfaatkan secara optimal, karena memang masih belum banyak yang bisa terungkap tentang sejarah bojonegoro sendiri secara lengkap dan detail. Selain itu juga masih maraknya perdagangan benda-benda purbakala serta penggalian secara ilegal menyebabkan makin minimnya data yang ada. Untuk itulah perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat luas terutama para pelajar akan arti pentingnya cagar budaya. Seharusnya kita bisa memelihara cagar budaya di daerah kita,karena tinggalan masa lalu suatu saat akan menjadi kebanggaan tersendiri bagi kita semua. (Redaksi)

Sumber : Bojonegoro Perba

© 2018 SeputarBojonegoro.comDesigned by Bloggertheme9